Internasional

Status AS SebagaI Negara Adidaya Berada Di Ambang Kehancuran

Berbagai raihan kemenangan yang telah sukses Amerika Serikat (AS) dapati selama ini telah membuat negara tersebut menjadi negara adidaya. Bermula dari kisah suksesnya AS dalam membungkam Jepang lewat serangan bom atom pada perang dunia II lalu, sepanjang abad ke-19 AS telah menjadi negara adidaya. Begitu pula saat episode 30 tahun Perang Dingin. AS sukses memenangkan persaingan ideologi antara Uni Soviet dan komunisnya usai Presiden Soviet, Michael Gorbachev, resmi membubarkan negaranya sendiri setelah 74 tahun berdiri.

Berbagai raihan kemenangan itu jelas membuat AS sangat adidaya dan memiliki kekuatan tak terhingga, sekaligus membuatnya sebagai polisi dunia di sektor ekonomi atau politik. Atas nama demokrasi dan liberalisasi, AS kerap melakukan perluasan hegemoni yang disebut Pax Americana. Meski begitu, tulis Tom Mc Tague di The Atlantic, kekuatan besar AS juga diiringi oleh kerentanan kehancuran yang begitu besar. Sebab, ketidaksukaan publik dunia atas kedudukan AS membuat mereka menginginkan keruntuhan dari negara yang berdiri pada 1776 itu.

Contoh ini terlihat pada sikap AS menghadapi pertempuran. Merujuk paparan The New Rules of War: Victory in the Age of Durable Disorder (2019), perlu dipahami setelah 1945 perang di dunia tak hanya berada di lingkup satu negara, alias melintasi batas-batas politik negara. Hal ini disebabkan karena perang lebih didasari oleh sentimen kebangsaan dan keagamaan yang militannya bisa lintas negara. Pertarungan antara suku A dan B, bisa saja berada di 2-3 negara.

Pandangan baru inilah yang gagal dipahami oleh AS. Mereka memakai strategi perang dunia, bahwa kemenangan diraih usai membunuh pemimpin dan menghancurkan militer musuh. Disinilah letak masalahnya. Dalam tiap pertempuran, AS berhasil menghancurkan militer dan pemimpin, tetapi tidak dengan ideologis atau pemikirannya yang tetap eksis.

Baca Juga:  Ingin Akhiri Perang Di Ukraina, Macron Dan Biden Akan Libatkan China

Akibat gagal menghabisi akar ideologis yang lintas negara, dan terlena oleh kemenangan “semu” usai membunuh pemimpin, lahirlah berbagai kelompok ekstremis yang melahirkan gerakan terorisme global, salah satunya bernama ISIS. Dan ini memang terbukti saat ISIS melancarkan aksi terorisme terhadap Barat, khususnya AS demi tercapainya kehancuran AS itu sendiri.

Kasus-kasus seperti ini sebetulnya jadi boomerang bagi AS. Sejak tahun 1970-an, dan memuncak saat memasuki abad ke-20, sudah ada berbagai prediksi American Decline atau kemunduran AS. Sebagaimana dipaparkan Nicholas Kitchen & Michael Cox dalam “Power, structural power, and American decline” (Cambridge Review of International Affairs, 2019), penyebab kemunduran saat memasuki abad ke-20 ini disebabkan karena AS membuat seluruh dunia kecewa karena agresi militer dan sistem kapitalismenya.

Khusus yang terakhir, model kapitalisme AS yang sebelumnya begitu dominan dipandang telah merusak politik, menghambat pertumbuhan, dan melemahkan daya tarik AS dalam tatanan global. Berhubung mulai melemah, di sinilah China muncul dan bangkit. Menariknya, kebangkitan China ini justru disebabkan, lagi-lagi, oleh kebodohan AS itu sendiri. Saat AS fokus mengacak-acak Timur Tengah yang berujung kekalahan, China, fokus berdagang dan meluaskan sayap pengaruh. Pada titik ini sebetulnya AS luput dan telat sadar kalau dirinya mengalami kemunduran.

Merujuk data IMF, pada 2000 PDB China hanya 7% dunia. Namun, dua dekade kemudian, nilainya berlipat ganda menjadi hampir 19%. Pada periode yang sama, PDB AS justru merosot dari 20% menjadi hampir 16%. Aroma kemunduran ini juga pernah diprediksi oleh sejarawan AS, Alferd McCoyr. Menurutnya kenaikan harga, upah yang stagnan dan daya saing internasional yang mulai pudar akan datang.

Mengutip Big Think, pada tahun 2025 kekuatan AS sudah compang-camping dan memudar. Lalu lima tahun kemudian, dollar AS akan kehilangan statusnya sebagai mata uang dunia yang berakibat pada hilangnya hegemoni AS di dunia. Sebetulnya pernyataan Alferd ini sudah mulai terlihat. Amerika Serikat (AS) kini mulai “dijauhi” sejumlah negara. Ini terlihat dari mata uang, dedolarisasi, hingga trend pergaulan global.

Baca Juga:  Seorang Ibu Tuntut Keadilan Atas Tewasnya Balita Asal Palestina Yang Ditembak Israel

Dari sisi mata uang, upaya ‘membuang’ dolar AS dilakukan sejumlah pihak. Di antaranya negara-negara yang bergabung dalam BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan). Di segi pergaulan internasional, AS pun mulai “dilupakan” beberapa negara termasuk sekutu dekatnya. Sebut saja Arab Saudi yang tiba-tiba membina hubungan kembali dengan Iran, di bawah mediasi China, sebagaimana diberitakan Reuters dan AFP.

Belum lagi Prancis, usai Presiden Emmanuel Macron menemui Presiden China Xi Jinping pekan lalu. Macron mengatakan Eropa harus mengurangi “ketergantungannya” pada AS. Eropa, tegasnya, harus menghindarkan diri dari terseret ke dalam konfrontasi antara AS dan China atas Taiwan. Macron, dimuat Politico, menekankan teori “otonomi strategis” untuk Eropa, yang mungkin dipimpin oleh Prancis untuk menjadi negara adikuasa ketiga.