Bisnis

Rupiah Sudah Bisa Bangkit Di Bawah Angka 15.000/US$1

Rupiah menguat tajam sepanjang pekan ini dan mampu mengakhiri perjalanan pada kuartal I-2023 di bawah Rp 15.000/US$1. Penguatan rupiah ini tentu saja menjadi kabar baik setelah mata uang Garuda sempat turun tajam pada beberapa periode sepanjang kuartal I tahun ini.

Pada perdagangan Jumat (31/3/2023), rupiah ditutup di posisi Rp 14.990/US$, di pasarspot atau menguat 0,37%. Ini adalah kali pertama rupiah mampu mengakhiri perdagangan di bawah level US$ 15.000/US$1 sejak 3 Februari 2023. Penguatan juga memperpanjang kinerja impresif mata uang Garuda.

Sepanjang pekan ini, rupiah selalu menguat dan tidak sekalipun takluk di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Dalam sepekan rupiah menguat sebesar 1,07%, Artinya, mata uang Garuda sudah menang melawan dolar selama tiga pekan beruntun.

Pada dua pekan lalu, rupiah menguat 0,68%, pekan lalu melonjak 1,25%, sementara pada pekan ini melesat 1,06%. Kinerja impresif salah satunya ditopang oleh ambruknya dolar AS akibat dari krisis perbankan AS.

Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank, dan Silvergate Bank membuat pelaku pasar khawatir. Krisis bahkan membuat perbankan Eropa ikut gonjang-ganjing yang memberikan keuntungan bagi rupiah.

Sebagai imbas dari krisis perbankan, pasar kini memproyeksi bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) tidak akan agresif lagi. The Fed memang masih mengerek sukiu bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 4,75-5,0% pada 20-21 Maret lalu. Namun, pasar optimis jika The Fed akan segera melunak.

Survei CME FedWatch menunjukkan pasar kini bertaruh 50-50% jika The Fed akan mempertahankan suku bunganya pada pertemuan Mei mendatang. Ekspektasi pasar tersebut membuat dolar AS melemah. Indeks dolar pada perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (31/3/2023) ditutup di posisi 102,51. Indeks turun 0,59% dalam sepekan.

Baca Juga:  Ada Syarat Penerima Subsidi Motor Listrik, Jadi Tak Semua Orang Bisa Beli

Ekspektasi akan melunaknya The Fed juga membuat aliran modal asing masuk dengan deras ke pasar keuangan Indonesia. Data Bank Indonesia (BI) berdasarkan transaksi 27-30 Maret 2023 menunjukkan investor asing mencatat net buy sebesar Rp 10,97 triliun. Net buy di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 8,37 triliun sementara di pasar saham menyentuh Rp 2,6 triliun.

Dari awal tahun hingga 30 Maret 2023, net buy investor asing tercatat Rp 54,11 triliun. Penguatan rupiah hingga menembus di bawah Rp 15. 000/US$1 pada akhir kuartal I juga membuat mata uang rupiah menjadi yang terbaik di Asia. Mayoritas mata uang utama Asia memang menguat dalam sepekan. Namun, kinerja rupiah adalah yang paling impresif. Penguatan rupiah dalam pekan ini hanya mampu ditandingi ringgit Malaysia.

Perjalanan rupiah menuju ke bawah level Rp 15.000 bukanlah hal yang mudah. Rupiah sebenarnya mengawali tahun ini dengan kinerja luar biasa. Mata uang Garuda terus terpuruk sejak September 2022 hingga akhir tahun 2022.
Rupiah berada di posisi Rp 15.570/US$1 pada awal 2023 dan selanjutnya terus menguat.

Pada pekan kedua Januari 2023 (9-13 Januari), rupiah menguat 3,24% dalam sepekan dan mengakhiri perdagangan di posisi Rp 15.140/US$. Pada pekan tersebut, rupiah juga mengakhiri perdagangan dengan penguatan1,295% sehari. Penguatan sebesar itu menjadi yang tertinggi sejak 5 Juni 2020 atau 3,5 tahun terakhir. Pada tanggal tersebut, rupiah menguat sebesar 1,52% sehari.

Rupiah menguat setelah Chairman The Fed Jerome Powell menyatakan ada tanda-tanda pelemahan inflasi AS. Ekspektasi jika The Fed akan melunak pun membuat dolar terpuruk dan rupiah perkasa. Rupiah terus menguat dan menembus level di bawah Rp 15.000 pada 24 Januari hingga 3 Februari 2023. Sepanjang Januari 2023, rupiah melonjak 3,9%. Setelahnya rupiah malah terpuruk.

Baca Juga:  Menunggu Pengumuman The Fed, Nilai Rupiah Siap Menguat

Pada pekan kedua dan ketiga Februari, mata uang Garuda ambruk 1,59% dan 0,46% dalam sepekan. Rupiah ambruk karena pelaku pasar mengkhawatirkan The Fed akan melanjutkan kebijakan hawkishnya. Kekhawatiran ini muncul setelah data inflasi AS bergerak di atas ekspektasi pasar.

Inflasi AS, misalnya, mencapai 6,4% (year on year/yoy) pada Januari 2023. Inflasi jauh di atas ekspektasi pasar yang berada di 6-6,2%. Pelemahan rupiah juga disebabkan derasnya aksi jual oleh investor asing. Berdasarkan data transaksi 13-16 Februari 2023, asing mencatat net sell sebesar Rp 4,62 triliun di pasar SBN dan net sell Rp 1,10 triliun di pasar saham.

Sepanjang Februari 2023, rupiah terpuruk 1,8% di hadapan dolar AS. Rupiah terpuruk semakin dalam pada awal Maret. Pada pekan kedua Maret (6-10 Maret), mata uang Garuda ambles 0,97% sepekan. Pelemahan ini memperpanjang derita rupiah yang tersungkur selama empat pekan sebelumnya. Adalah pernyataan Chairman The Fed Jerome Powell yang membuat rupiah terpuruk.

Powell memberikan pidato di depan senat AS pada 7 Maret 2023 mengenai kebijakan moneter. Dia menegaskan jika The Fed akan tetap hawkish dan akan mengerek suku bunga lebih besar dalam jangka panjang demi memerangi inflasi.

Rupiah sempat melemah hingga ke posisi Rp 15.445 pada 10 Maret 2023, atau terendah sejak dua bulan. Kinerja rupiah berbalik arah setelah krisis perbankan AS melanda AS dan meluas ke Eropa sejak 11 Maret 2023.

Rupiah terus menguat karena pelaku pasar khawatir dengan dampak perbankan AS terhadap ekonomi mereka. Pasar juga memperkirakan The Fed tidak akan lagi hawkish seperti pernyataan sebelumnya.

Rupiah bahkan mampu menguat sebesar 1,25% pada Jumat dua pekan lalu (24/3/2023), penguatan terbesar sehari dalam dua bulan lebih. Puncaknya adalah rupiah mampu menembus level di bawah Rp 15.000 pada perdagangan Jumat pekan ini. Secara keseluruhan, rupiah menguat 1,7% pada Maret tahun ini serta 3,8% pada kuartal I-2023.

Baca Juga:  Harga Emas Dunia Terus Menanjak, Sedang Menjadi Primadona