Penobatan Camilla Mengalami Masalah Pada Mahkota Turun Temurun Dengan Berlian Kohinoor
Saat Camilla dan Charles dinobatkan akhir pekan besok, mereka yang menonton akan melihat mahkota di kepala Permaisuri yang baru. Ornamen simbolis monarki turun-temurun Inggris tersebut akan dilengkapi dengan permata dari koleksi publik, selain juga koleksi pribadi keluarga. Di antaranya adalah batu rubi, pirus, safir, aquamarine, dan zamrud. Tapi bebatuan mahal tersebut memiliki sejarah berdarah yang belum terlupakan. Permaisuri Camilla diharapkan untuk mengenakan mahkota yang dikenakan Ratu Elizabeth pada penobatan suaminya di tahun 1937, yang dihiasi dengan berlian 105 karat berbentuk oval, dikenal sebagai Kohinoor.
Dipercaya sebagai berlian termahal di dunia, Kohinoor sudah diperebutkan selama berabad-abad dan sejumlah warga India yang mengatakan berlian ini harusnya dikembalikan ke negara mereka. Perayaan penobatan Raja Charles kini dibayang-bayangi kontroversi, hingga keluarga kerajaan mengumumkan jika mahkota penobatan akan diatur ulang tanpa batu berlian tersebut, atau replikanya dari kristal kuarsa. Sebagai gantinya akan menampilkan tiga berlian lain dari koleksi kerajaan: Cullinan III, IV dan V. Namun, seorang akademisi asal Afrika Selatan berpendapat tiga berlian ini juga merupakan sisa dari masa kolonial Inggris yang brutal.
“Sejarah berlian Cullinan adalah lambang sejarah kolonialisme dan imperialisme. Ini adalah sejarah yang menyangkal kemanusiaan dan hak-hak orang Afrika,” kata profesor Everristo Benyera dari University of South Africa. Berlian Cullinan ditemukan di sebuah tambang besar di Afrika Selatan pada tahun 1905, dengan berat 3.106 karat. Penemuannya membuat kegiranganke seluruh dunia. Kira-kira seukuran hati manusia dan dengan warna biru-putih, menurut Royal Asscher, batu mulia ini adalah berlian kasar berkualitas permata terbesar yang pernah ditemukan. Tapi Cullinan duduk di pasar batuan berharga selama dua tahun tanpa pembeli, sampai pemerintah kolonial di Afrika Selatan membelinya di tahun 1907 seharga 150.000 pound.
Bagaimana berlian besar ini berakhir di koleksi kerajaan Inggris adalah cerita yang rumit. Sejak penemuan deposit intan di Afrika selatan di tahun 1867, pemerintah kolonial mengesahkan dan memberlakukan sejumlah undang-undang, yang antara lain, memaksa para pria Afrika untuk bekerja di tambang. Demikian penjelasan Danielle Kinsey, yang pakar sejarah Inggris di Carleton University di Ottawa, Kanada “[Para laki-laki bekerja] dengan upah yang relatif murah. Pergerakan mereka dibatasi,dan menciptakan sistem hukum yang memenjarakan banyak laki-laki Afrika, kemudian dipaksa bekerja di pertambangan sebagai buruh narapidana,” ujarnya.
Selama beberapa dekade berikutnya, pihak berwenang di Cape Colony serta Inggris berusaha untuk mengklaim “Ladang Berlian”, sebagai bagian dari yurisdiksi mereka, katanya. Ia juga mengatakan warga lain yang juga memiliki klaim atas wilayah itu termasuk kelompok Pribumi, ‘Orange Free State’, dan misionaris Jerman. “Pemerintah Inggris di London dan Cape bekerja keras agar wilayah itu bisa berada di bawah yurisdiksi mereka demi mempertahankan industri yang menguntungkan bagi kerajaan Inggris …,” kata Profesor Kinsey. Pada pergantian abad ke-20, perang Boer pecah dan pasukan Inggris menggunakan taktik brutal untuk menumpas perlawanan, hingga konflik berakhir pada tahun 1902.
Lima tahun kemudian, pemerintah kolonial di Afrika Selatan menghadiahkan berlian tersebut kepada Edward VII, yang kemudian memerintah wilayah tersebut sebagai tanda kesetiaan. Berlian yang belum dipotong dikirim ke Inggris sebelum dikirim lagi untuk dibagi menjadi beberapa bagian. Tiga orang bekerja selama 14 jam sehari selama delapan bulan untuk memotong Cullinan menjadi sembilan batu besar, yang masing-masing diberi nomor dari I sampai IX. Cullinan I dan II,dikenal sebagai ‘The Great Star of Africa’ dan ‘Second Star of Africa’ dimasukkan ke dalam koleksi perhiasan mahkota. Yang pertama dipasang di Tongkat Kerajaan dengan Salib, sedangkan yang kedua dipasang di Mahkota Negara Kekaisaran.
Cullinan III dan IV awalnya merupakan bagian dari mahkota penobatan Ratu Mary, sebelum diubah menjadi bros dan perhiasan lainnya yang terakhir dipakai oleh Ratu Elizabeth II dan mendapat julukan “Garnny’s Chips”. Lebih dari seabad kemudian, beberapa orang Afrika Selatan melihat Cullinan sebagai berlian darah dan simbol eksploitasi. Dalam beberapa bulan sejak kematian Ratu Elizabeth II, hampir 8.000 orang telah menandatangani petisi yang menyerukan agar berlian Cullinan dikembalikan dan dipajang di museum Afrika Selatan. Anggota parlemen Gerakan Transformasi Afrika, Vuyo Zungula, dalam Twitter-nya mengatakan Afrika Selatan harus menuntut pengembalian “semua emas, berlian yang dicuri oleh Inggris”.
“Mineral negara kita dan negara lain terus menguntungkan Inggris dengan mengorbankan rakyat kita,” kata Thanduxolo Sabelo, mantan anggota Partai Kongres Nasional Afrika kepada media lokal tahun lalu. “Kami tetap dalam kemiskinan. Kami tetap alami pengangguran massal dan tingkat kejahatan yang meningkat, karena penindasan dan kehancuran yang disebabkan olehnya [Ratu Elizabeth] dan nenek moyangnya.” Profesor Benyera mengatakan perdebatan saat ini lebih dari sekadar permata berharga. “Apa yang kami inginkan bukan hanya kembalinya Cullinan, atau kembalinya salah satu artefak yang dicuri… yang kami inginkan adalah kembalinya kemanusiaan kami,” katanya.
“Kami ingin mereka [yang] melakukan perdagangan budak dan kolonialisme untuk mengakui kesalahan mereka… kemudian kita dapat berbicara tentang perbaikan.” Tapi menurutnya ini tidak akan terjadi dalam waktu dekat. “Monarki Inggris sadar langkah seperti itu akan membuka tuntutan hukum berikutnya, masalah, dan penafsiran ulang sejarahnya.” Selama beberapa dekade terakhir, permintaan agar Kohinoor atau “Gunung Cahaya” untuk dikirim kembali ke India juga semakin kuat. Dari anggota parlemen India hingga pengacara Pakistan, bahkan anggota Taliban dan cucu pemimpin kemerdekaan India, Mahatma Gandhi, menuntut keluarga kerajaan Inggris mengembalikan Kohinoor sebagai “penebusan masa lalu kolonial”.
Meskipun beberapa negara mengklaim Kohinoor, keluarga kerajaan mengakui berlian itu “mungkin” berasal dari India. Jyoti Atwal, dari pusat studi sejarah di Universitas Jawaharlal Nehru, mengatakan India telah melalui fase dekolonisasi budaya dalam beberapa tahun terakhir. Di hari-hari terakhir Ratu Elizabeth II, Perdana Menteri India Narendra Modi sebenarnya sedang bersiap untuk mengungkap dua perubahan besar di kota Delhi, yang menandakan pergeseran dari “simbol perbudakan, yang kini jadi sejarah” Inggris. Beberapa jam sebelum dia meninggal, sebuah monumen yang mengakui pejuang kemerdekaan revolusioner Netaji Subhas Chandra Bose diresmikan di tempat patung Raja George V, kakek Ratu Elizabeth II pernah berdiri.
PM Modi juga mengumumkan bentangan ikonik yang dikenal sebagai Rajpath,atau Kingsway dalam bahasa Inggris,untuk selanjutnya akan dikenal dengan istilah Kartavya Path, yang berarti “jalur tugas”. Kematian Ratu Elizabeth II menghidupkan kembali seruan agar Kohinoor dikembalikan ke India, dengan banyak yang memprediksi jika batu berharga ini akan sekali lagi menghiasi kepala raja Inggris yang baru. Pada bulan Februari, istana Inggris mengumumkan mahkota penobatan Permaisuri Camilla tidak akan menampilkan berlian yang saat ini kembali diperdebatkan. “Berlian yang tidak akan dipakai, atau ada anggapan berlian ini tidak boleh dipakai oleh Permaisuri Camilla, adalah sebuah kesadaran, tidak diragukan lagi,” kata Profesor Atwal.
“Itu dipandang sebagai bentuk invasi dari kekerasan budaya.” Sebaliknya, Kohinoor akan tetap dipajang di ‘Jewel House’di Tower of London,dalam pameran baru yang menyelidiki asal-usulnya sebagai “simbol penaklukan”. Kisah berlian Cullinan juga akan menjadi bagian dari pameran tersebut. Profesor Atwal mengatakan pengakuan ini akan membantu orang memahami sejarah berlian Kohinoor sepenuhnya, tetapi bagi banyak orang di India, ini hanyalah langkah awal. “[Kembalinya Kohinoor] lebih merupakan tindakan merebut kembali warisan budaya kita sendiri, memenangkan pertempuran yang kalah,” katanya.
“Penting bagi orang India untuk membayangkan kembali masa lalu mereka, dalam artian sekarang sudah kembali dan didamaikan. Jadi, ada penyembuhan dengan mengembalikan berlian.” Namun, menegosiasikan potensi pengembalian apa pun akan menjadi rumit. Konvensi UNESCO tahun 1970, yang mencakup restitusi benda budaya antar negara dan diterima oleh Inggris pada tahun 2002, hanya berlaku untuk benda yang telah “diperoleh secara ilegal”. Keluarga kerajaan, serta mantan jaksa agung India, mengaku Kohinoor sebagai hadiah, atau diserahkan oleh pihak India, bukan objek yang dicuri atau dipindahkan secara tidak sah.
Sejak itu, India mengklarifikasi bahwa pernyataan jaksa agung tersebut tidak mewakili pandangan pemerintah, yang melakukan segala upaya untuk mengembalikan Kohinoor dengan cara yang bersahabat. Menurut juru bicara Partai Bharatiya Janata pimpinan Modi, masih ada konsultasi yang harus dilakukan dalam kampanyenya untuk kembalinya Kohinoor, tetapi pemerintah berharap pembicaraan akan berlanjut. Wakil presiden India, Jagdeep Dhankhar, akan mewakili negaranya pada penobatan Raja Charles akhir pekan ini. Perdebatan yang sedang berlangsung merupakan masalah yang sudah lama dihadapi oleh keluarga kerajaan Inggris. “Saya rasa penggunaan batu dari Cullinan tidak akan mengalihkan fokus soal hubungan keluarga kerajaan dengan imperialisme Inggris dan eksploitasi kolonial,” kata Profesor Kinsey.
“Itu hanya mengalihkan fokus ke imperialisme dan kolonialisme di Afrika selatan, yang memiliki sejarah perang, perampasan, perusakan lingkungan, dan ketidaksetaraan sosial yang luar biasa.” Seperti yang dilakukan ibunya, Raja Charles harus bergulat mengatasi masa lalu Inggris yang berlumuran darah di tengah pengakuan kolonial di tingkat global. Selama bertahun-tahun, Persemakmuran telah diakui secara luas sebagai persatuan politik dari 56 negara yang membentuk hampir sepertiga populasi dunia. Tetapi semua itu dibangun di atas perbudakan, penaklukan, dan tanah curian. “Masalah sumber daya [yang dijarah] lebih luas dari Afrika Selatan dan India, ini adalah masalah Global Selatan, yang harus ditangani oleh kerajaan Inggris jika ingin mempertahankan rasa hormat dalam hal ini,” kata Profesor Benyera.
Profesor Atwal mengatakan banyak sejarawan mendefinisikan kolonialisme bukan hanya tentang invasi politik dan teritorial, tetapi juga invasi budaya. “Inggris menyadari fakta bahwa perlu ada pengakuan jika [artefak dan permata] ini bukan sekadar tanda kemenangan, tetapi ini adalah simbol masa lalu,” katanya. Selain permata mahkota, banyak bekas koloni menginginkan pengakuan formal atas kerusakan generasi yang ditimbulkan atas nama raja yang “ditunjuk oleh Tuhan”. Beberapa negara Persemakmuran mulai menjauhkan diri dari keluarga kerajaan Inggris, ingin menggantikan raja sebagai kepala negara dan meminta keluarga kerajaan untuk meminta maaf, serta membayar ganti rugi atas perbudakan.
Sementara itu, Raja Charles sudah memberikan beberapa tanda, jika ia bermaksud untuk mengatasi masalah yang masih ada ini, mendukung kemerdekaan Karibia dan menyatakan dukungannya untuk penelitian tentang hubungan keluarga kerajaan dengan perdagangan budak. Tapi Profesor Kinsey mengatakan ini barulah sebuah permulaan. “Hampir tidak mungkin memisahkan sejarah monarki dari sejarah Imperialisme Inggris selama 200 hingga 250 tahun terakhir,” katanya. “Jadi, ini hanyalah awal dari keluarga kerajaan yang mulai memahami seberapa dalam hal saling terkait… kerajaan Inggris yang membuat keuntungan, eksploitatif, dan bahkan genosida.” “Penting bagi mereka untuk memulai prosesnya, tetapi masih banyak lagi yang harus mereka lakukan.”