Warganya Enggan Bermesraan, Jepang Dihantui Resesi Seks
Istilah ‘Resesi Seks’ kembali menyelimuti negara di dunia, termasuk China dan Jepang. Pemerintah banyak negara pun kemudian mesti campur tangan agar warganya kembali ‘bermesraan’. China dua pekan lalu meliburkan sekolah vokasi saat musim semi dengan tujuan memberikan kesempatan mahasiswanya ‘menemukan cinta’ di luar kampus. Menyusul Tiongkok, kini Jepang pun mengambil langkah yang serupa.
Resesi seks ini dikabarkan kini benar-benar menghantam Negeri Sakura. Ironisnya, resesi seks kini mulai berujung pada krisis populasi hingga menyebabkan banyaknya sekolah tutup di negeri itu. Melansir dari Reuters, akhir pekan lalu hanya ada dua orang siswa bernama Eita Sato dan Aoi Hoshi menjadi satu-satunya dan lulusan terakhir di SMP Yumoto, di Desa Ten-ei, Prefektur Fukushima, utara Jepang. SMP itu sendiri akan ditutup secara permanen, setelah 76 tahun berdiri.
“Kami mendengar desas-desus tentang penutupan sekolah di tahun kedua kami, tetapi saya tidak membayangkan itu akan benar-benar terjadi. Saya terkejut,” kata Eita, dikutip Selasa (4/4/2023). Fenomena tutupnya sekolah terjadi akibat angka kelahiran di Jepang anjlok lebih cepat dari yang diperkirakan.
Jumlah ini meningkat terutama di daerah pedesaan seperti Ten-ei, area ski pegunungan dan mata air panas di prefektur Fukushima yang telah merasakan depopulasi. Pemerintah Jepang tentunya tak tinggal diam dengan fenomena ini. Perdana Menteri Fumio Kishida telah menjanjikan langkah-langkah untuk meningkatkan angka kelahiran. Termasuk menggandakan anggaran untuk kebijakan terkait anak.
Ia juga mengatakan menjaga lingkungan pendidikan sangat penting. Sayangnya sedikit yang telah membantu sejauh ini. Selain itu, pemerintah juga mengupayakan dengan memberikan layanan kecerdasan untuk menjodohkan warganya, layanan ini dapat digunakan untuk menemukan pasangan yang cocok.
Untuk di wilayah Ehime, pemerintah lokalnya memberikan penawaran perjodohan menggunakan sistem berbasis big data. Sementara di Miyazaki caranya lebih tradisional, pemerintah memfasilitasi perjodohan di mana calon pasangan berkirim surat terlebih dahulu. Tidak hanya itu, berbagai cara juga dilakukan di wilayah lainnya. Bahkan di Tokyo, memberikan pelatihan dasar, misalnya bagaimana memulai obrolan dengan lawan jenis.
Saat ini Jepang tengah waspada dengan jumlah populasi yang semakin banyak lansia, angka kelahiran kian menurun, hingga fenomena masyarakat yang enggan menikah. Bisa dikatakan ‘kemampuan romantis’ warga Jepang menurun menjadi penyebabnya. Angka kelahiran anjlok di mana Negeri Sakura ini memiliki angka kelahiran di bawah 800.000 pada tahun 2022, rekor terendah baru. Perkiraan pemerintah menyebut depopulasi juga delapan tahun lebih awal dari yang diharapkan.
Fenomena ini memberikan pukulan telak bagi sekolah umum yang lebih kecil. Padahal ini seringkali menjadi jantung kota dan desa pedesaan. Menurut data pemerintah, sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun. Antara tahun 2002 dan 2020, hampir 9.000 sekolah menutup pintu mereka selamanya, sehingga sulit bagi daerah terpencil untuk memikat penduduk baru yang berusia lebih muda.
Sebenarnya anjloknya angka kelahiran adalah salah satu masalah besar yang sedang melanda negara-negara regional Asia. Tak hanya Jepang, fenomena resesi seks ini juga terjadi di Korea Selatan dan China. Populasi warga Jepang mencapai puncak pada 2011 dengan jumlah menembus 127,83 juta. Setelah itu, populasi Jepang terus menurun drastis hingga mencapai 124,62 juta seperti saat ini.
Berbanding terbalik dengan jumlah populasi yang turun, angka perjaka di Jepang saat ini sedang meningkat. Informasi itu diberitakan Japan’s National Fertility Survey, dimana 1 dari 10 pria Jepang di umur 30-an tahun masih perjaka. “Proporsi besar dari individu itu tidak bisa menemukan pasangan,” cetus periset dari Tokyo University, Peter Ueda. Dia memberi peringatan bahwa naiknya angka perjaka di Jepang merupakan yang tertinggi di antara negara berpendapatan tinggi.
Survei yang dilakukan National Institute of Population dan Social Security Research ditemukan bahwa, hampir seperlima pria Jepang dan 15% wanita tidak tertarik menikah. Angka tersebut adalah yang tertinggi sejak 1982. Hampir sepertiga pria dan seperlima wanita Jepang di usia 50-an tak pernah menikah. Menurut pakar dari Harvard, Mary Brinton, meningkatnya angka perjaka dapat dibendung dengan usaha yang efektif, seperti menyeimbangkan antara waktu kerja dan keluarga.
Populasi Jepang akan menurun hingga separuh dari populasi yang ada jika dalam setengah abad tren semacam resesi seks tak bisa diatasi. Pemerintah Jepang mencatat total tingkat kesuburan di Jepang terus menurun selama bertahun-tahun. Pada 2005, statistik sempat pulih dari tingkat terendah melalui angka 1,26 pada 2005.
Lalu, pada 2021 tingkat tersebut meningkat di angka 1,30. Namun, pada 2021 juga jumlah kelahiran bayi di Jepang mencapai titik terendah, yaitu 811.622. Dilansir dari Mainichi, alasan sesungguhnya masyarakat Jepang ogah menikah adalah karena pada dasarnya orang Jepang tidak jago dalam hal asmara. Hal tersebut diungkapkan oleh seorang anggota fraksi Partai Liberal Demokrat, Narise Ishida.
“Angka kelahiran menurun bukan karena biaya untuk memiliki anak,” ujar Ishida dalam sesi tanya jawab umum di majelis, dikutip Rabu (5/4/2023). “Masalahnya, asmara dipandang sebagai hal yang tabu sebelum menikah,” lanjutnya mengungkapkan. Namun, Ishida tidak menyebutkan secara spesifik terkait apa yang dia maksud dengan “jago dalam urusan asmara.”
Sebelumnya, Ishida meminta pemerintah prefektur untuk melakukan survei dan analisis kemampuan masyarakat dalam hal asmara. Selain itu, ia juga mengusulkan agar pemerintah prefektur memasukkan faktor tersebut dalam strategi untuk mencegah penurunan angka kelahiran. Berkaitan dengan hal ini, direktur departemen perencanaan strategis pemerintah prefektur, Akira Yasui mengatakan bahwa hal ini terkait dengan masalah yang sangat pribadi. Maka dari itu, pemerintah perlu memperdalam kesadaran tentang apa itu kemampuan asmara.